Selamat Mudik, Selamat Bekerja.
Mudik. Antara tradisi,
kebutuhan, dan kesempatan. Ada persiapan, perjalanan, canda tawa, suka cita. Bahkan
ada juga haru, cemas, rasa berdebar. Dengan ransel besar, kotak kotak kerdus
indomie, sampai keresek keresek hitam dan putih. Pesawat, kereta api, kapal
feri, bus, travel, mobil dan motor. Tumpah ruah dalam jalurnya. Hitamnya aspal
menjelma menjadi untaian untaian mutiara rindu sang perantau. Birunya lautan
terbelah kuatnya rasa ingin jumpa. Awan awan diatas langit pun enggan menghalangi
suka dan cita. Ratusan bahkan ratusan ribu perantau pulang. Menyisahkan kami. Kami
yang ada dibalik ketersediaan makanan dan minuman untuk kendaraan mudik para
pejuang rupiah, para pejuang masa depan, atau para pejuang akhir bulan. Kami yang
tetap pergi bekerja, memastikan minyak bumi tersalurkan ke setiap titik penjuru
negeri. Menyisahkan kami. Kami yang memastikan mobil mobil pengantar minyak
sampai pada tujuannya. Menyisahkan kami. Kami yang memastikan jalanan aman,
menyisahkan kami. Kami yang memastikan para pekerja dalam keadaan sehat. Menyisahkan
kami, segenap pekerja pada Terminal Bahan Bakar Minyak.
Takbir
berkumandang, Ibu Bapak, sanak saudara, berbondong menuju masjid atau lapangan
terdekat, menunaikan dua rakaat. Bersalaman, bermaafan, bahkan juga saling
memeluk, merangkul penuh khidmat. Berkumpul bersama di hari kemenangan,
menikmati rendang, opor ayam, kastengel, nastar, atau hanya sekedar sirup
marjan. Semua bahagia. Anak anak berlarian, bersalaman cium tangan, mungkin
juga dengan harapan mendapatkan salam tempel ditangan. Menyisahkan kami. Kami yang
duduk diruang kerja. Dalam ruang control, berteman pc, keybord dan kabel kabel
pada ruang server. Menunaikan penyaluran, penerimaan, atau mungkin bila tak
beruntung, tak mampu tunaikan dua rakaat karena harus mengurus minyak premium
dan solar. Menyisahkan kita yang hanya mampu makan mcd atau kfc, karena tak ada
rumah makan padang lengkap dengan rendang yang buka pada hari lebaran. Adanya
sirup marjan lah yang paling membuat kami merasa ini lebaran. Bukan anak anak
berlarian yang hendak bersalaman, tapi awak awak mobil tangki yang berlarian
hendak meminta segel sebagai syarat pengiriman bahan bakar.
Selamat
Mudik saudaraku, selamat bertemu keluarga di kampung halaman. Jangan sia siakan
kesempatan. Bila masih dapat kesempatan mudik, pulanglah, jadikan pulang adalah
kebutuhan, bukan karena kelemahan, tapi karena ada rindu yang memuncak,
berharap penuh penantian di kampung halaman.
Rindu dari orang orang rumah yang semakin menua. Selamat Mudik sekali
lagi, selamat sampai tujuan, hingga kembali, dari kami. Kami yang juga ada
dalam perjalanan mu, meski berakhir menjadi asap asap polusi. Semangat bagi
kita, yang belum memiliki kesempatan menjalani tradisi Mudik. Terimakasih kawan
kawan, rekan rekan kerja yang luar biasa. Bapak bapak awak mobil tangki yang
dengan sabar menerjang kemacetan Bandung Raya demi tersampaikanya rindu pejuang
rantau ke kampung halaman. Semangat untuk kita semua yang tetap bekerja di hari
lebaran. Kalian semua adalah Pahlawan.
Ditulis dengan penuh haru,
Bandung, 02 Juni 2019. 00:21
ninawibi