Malam itu, aku duduk bersama laptopku. Ditengan keramaian kedai kopi
klasik bernuansa remang, menenangkan. hanya ada segelintir anak manusia duduk
berpencar. Sengaja kupilih duduk menjauhi mereka. Kupasang hedset pada kedua
telingaku, lagu Lara, milik Dialog Senja memanjakan telingaku. Aku mulai
menulis, jari jemariku berlari kesana kemari. Memejam, memutar kedua bola
mataku, meneguk hot tiramisuku, mencari cari apa yang hendak kucurahkan kali
ini.
Keramaian, canda tawa, kisah
kisah tergambar pada bibir bibir pengunjung lain. Ah aku tak bisa berpaling
pada keseruan mereka. Satu dua orang baru berdatangan, membuat kedai yang
tadinya sepi, menjadi lebih ramai. Banyak orang berlalu lalang, namun aku hanya
duduk bersemayam. Banyak orang berkata bercerita. Namun aku terdiam hanyut
dalam kesendirian. Menjadi penonton dialog dialog dia dan mereka.
Begitu banyak tema, begitu
banyak persoalan, begitu banyak bahan obrolan, kira kira apa yang mereka
bicarakan? Kira kira apa yang membuat mereka saling larut? Kira kira apa yang
membuat mereka tertawa dalam satu waktu? Pertanyaan pertanyaan itu muncul
begitu saja dalam otakku. Seakan otakku punya lawan berpikir. Ah, aku tak tau.
Toh aku tak mampu mendengarnya. Mendengarnya pun aku juga tak mampu mengertinya.
Mungkin karena saling mengerti mereka mampu larut, terhanyut dalam suasana yang
mereka ciptakan.
Dari duduk sendiri, mengamati, dan berpikir pertanyaan ini dan itu, aku mendapatkan sebuah pelajaran. Mungkin ini
yang harus kumengerti, ARTI. Mengerti suatu arti, agar arti itu mampu
memberikan arti, BERARTI.
No comments:
Post a Comment