Hujan, kadang datangnya di maki, kadang datangnya dinanti. Hujan, kadang meninggalkan pelangi, kadang menginggalkan tangis. Jika engkau adalah hujan, akan jadi hujan yang seperti apa? Akankah dinanti? Akankah meninggalkan tangis? Itulah yang selalu menyelimuti pikirku. Mempertanyakan keadaan, bahkan terkadang menyalahkan hujan yang datang. Seyogyanya hujan adalah anugerah, namun setiap orang memandang berbeda. Berbeda persepsi menurut isi hati. Seharusnya hadirmu adalah anugerah, seharusnya engkau meninggalkan pelangi. Iya kan? Tapi mengapa terkadang hadirmu itu membuatku berpikir akankah menjadi tangis? Terkadang aku mulai mensyukuri, namun terkadang pikir ini memiliki argumennya sendiri. Barang tentu pikir ini sering tak sejalan dengan isi hati. Pernahkah engkau mendapati? Hujan badai yang datang tiba tiba, mereda juga seketika. Maka itu, hadirmu yang seharusnya aku syukuri membuat aku menjadi berpikir. Engkau yang datang, lalu menghilang. Sama seperti hujan, meninggalkan genangan, engkau meninggalkan kenangan. Genangan akan mengering, namun tetap dengan cekungan setelahnya. Lalu bagaimana dengan kenangan? Mungkin waktu akan perlahan menghilangkannya, pikirku akan melupakannya. Tapi tak akan sama, juga akan ada cekungan disana. Lalu, apa aku akan tetap menyalahkan hujan dengan genangannya? Hujan hanya air bukan? Air yang juga memiliki sifatnya, menyesuaikan diri dengan permukaan yang ia temui. Lalu apa aku akan tetap menyalahkan kehadiranmm? Bukankah engkau hanya manusia bukan? Manusia juga memiliki sifatnya.
Bersama hujan aku merasakan segalanya, senang, sedih, kurasakan dengan diri ini. Bersama hadirmu kurasakan juga itu dan ini. Kata orang hujan itu luka, nestapa, dan penjara. Lalu, jika engkau adalah hujan, akankah engkau menjadi diantara ketiganya? Luka, oh tidak, tolong jangan menjadi luka, sebaik apapun aku menyembuhkannya, itu akan tetap meninggalkan bekas. Nestapa, tak apa kau menjadikannya nestapa. Karena dengan kesedihan yang amat mendalam akan ada pelajaran. Tak apa jika ada nestapa, kesedihan akan menjadi pelajaran, akan menjadi pendewasaan. Penjara, mungkin ini akan lebih baik jika menjadi ruang bersama. Tak harus gunakan jeruji besi, cukup dengan kata kasih. Hujan, harummu dinanti. Bersamamu sang anak menari menikmati. Hujan adalah bom waktu, dimana otakku kembali mengais-ngais kenangan masa lampau. Wahai hujan, engkau bisa jadi berkah, bisa jadi bencana. Jika engkau adalah hujan, akankah menjadi diantaranya? Hujan dan kenangan dua kata bagaikan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mengapa hujan begitu? Menurutku karena hujan selalu membuat cerita. Karena hujan selau memberikan romansa. Karena hujan bagai bumbu dalam drama. Jika itu menjadi lebih lezat, itu akan sangat mudah teringat, itu akan dengan mudahnya menjadi kenangan.
Untuk kesekian kalinya, terimakasih teman – teman instagramku sudah menymbangkan karyanya. Semuanya indah.
No comments:
Post a Comment