Sudah memasuki bulan ketujuh di tahun dua ribu dua puluh satu. Sejak awal kita bertemu, tak terasa, sudah setengah tahun kita tak bertegur sapa. Tak terasa, lebih dari seratus delapan puluh hari kita tak saling bercerita. Bagaimana kabarmu? Bagaimana hari harimu? Bagaimana dengan lingkunganmu? Semua baik? Kuharap semua berjalan dengan baik meskipun tak ada lagi aku dalam hari harimu, meskipun tak lagi aku menyapamu, ucapkan selamat pagi kala membuka matamu, selamat siang bersama gorengan dan secangkir kopimu, selamat sore ringankan lelahmu, dan selamat malam iringi pejammu. Aku? Kabarku baik. Hanya saja kamu bukan lagi harmoni dari puluhan notifikasi ponselku.
Kamu, jika saja ada kamu, jika saja ada aku, akankah disitu ada Kita? Kenapa harus ada kamu? Kenapa harus ada aku? Kenapa harus ada kita? Sudahlah, aku benar benar tenggelam jika itu tentangmu. Hey kamu, masih adakah aku dalam kita mu? Dulu kata katamu yang memberi warna dalam hariku. Kata katamu mejikuhibiniu. Kata katamu itu Indomie kuah dimusim hujan. Meskipun hujan deras hariku, saat itu sapamu adalah matahari yang muncul membawa pelangi membuka tirai semu yang tadi datang bersama mendung. Kamu, yang dulu selalu menjadi tempatku pulang, menjadi sesuatu yang bukan lagi tujuanku. Hilang sudah ide ideku sendu biru membiru semenjak aku bukan lagi kita mu. Yang harus kamu tahu, elok itu akan selalu menjadi milikmu, ciptaan Tuhan Maha Besar yang aku rindu. Tentu saja aku berhak merindu, itu urusanku kan? karena untuk merindu tak perlu ada kita, cukup ada aku yang kuat bertahan merindu dan kamu yang kurindu. Terimakasih sudah pernah berjuang bersama meskipun pada akhirnya aku tak berhasil revitalisasi kita mu.
*Tulisan diatas kupersembahkan untuk teman teman di Instagram yang sudah menyumbangkan katanya sehingga dapat menjadi 2 paragraf diatas*