Buat kali ini, aku bakal posting cerpen aku yang gagal di muat di salah satu majalah. hehe. ya it's ok laah baru percobaan pertama buat kirim cerpen ke majalah =) daaan ini ni cerpen ku. . . enjoy. . .
DEWI SANG PENCABUT
NYAWA
“Tet…tet…tet…”
Tiga kali bunyi bel yang amat sedrhana, namun penuh arti bagi siswa-siswi
SMA 222 karena, waktunya untuk mengakhiri pelajaran dan meninggalkan sekolah.
Dewi siswi kelas sepuluh SMA 222 berjalan sendiri meninggalkan sekolah.
Hanya ada satu tujuan utaman dalam hati Dewi, yaitu sebuah kedai kopi yang
selalu ia kunjungi sepulang sekolah. Seperti biasa jalan tidak terlalu ramai
kendaraan hanya ada beberapa motor dan pejalan kaki. Jarang sekali ada mobil
yang melintas. Langkah Dewi terhenti setelah ia sampai pada tujuannya. Tempat
itu sederhana, tetapi sangat asri. Di kedai kopi ini terdapat beberapa pondok
kecil yang mengelilingi sebuah pondok besar tempat memesan menu yang telah
tersedia. Di pondok besar Dewi memesan 1 cup coffee ice dan sebuah kue
coklat favoritnya. Ia berjalan menuju pondok kecil dimana ia biasa tempati
(tentu saja kalau tidak didahului penggunjung lain). Cewek manis ini mulai
mengeluarkan sebuah notebook tebal berwarna orange dan sebuah bolpoint berwarna
hitam. Tak lama kemudian seorang pelayan mengantarkan pesanannya tadi.
“1cup coffee ice dan 1 chocolate cake. Selamat menikmati.” Kata si pelayan
dengan ramah.
“Terimakasih” kata Dewi pada
pelayan itu.
Ia mulai menulis sambil
menggigit kue coklatnya dan melahap coffee icenya sedikit demi sedikit.
Sendiri. Itulah Dewi. Ia memang selalu sendiri ia tak ingin bersahabat seperti
teman sebayanya yang lain. Jemarinya mulai menari menggoreskan tinta hitamnya
ke atas notebook orange miliknya. Ia sedang menulis novel yang sudah ia tekuni
mulai kelas 8 SMP. Tiba-tiba seseorang menghampirinya, dan itu membuat Dewi
terkejut. Tetapi keterkejutan itu tidak berlangsung lama. Dewi langsung
memasang wajah acuh tak acuh pada orang tak dikenalnya itu.
“Emm……….boleh
aku duduk di sini?”. Suara gadis itu mengagetkan Dewi.
“Ya
silakan!”. Jawab Dewi malaspada orang asing di depannya.
“Kok sendiri aja mannggak sama
temen kamu?”. Tanya gadis itu
memulai pembicaraan.
“Temen? Nggak kepikiran tuh!”. jawab
Dewi cuek.
“HaA? Oh ya namaku Sheila aku mau jadi temen kamu, ya… kalo’ kamu nggak
keberatan sich!”.
Sejenak
Dewi terdiam, dan tenggelam dalam pikirannya. Sebenarnya Dewi mulai kesepian, tetapi ia takut untuk
berteman.
“Hei,
aku nggak ngomomong sama patung kan? Nama kamu siapa?”.
“Eh
, iya, aku Dewi… kamu mau jadi temen aku?”. Jawab Dewi gugup.
“Iya.
Aku juga langganan disini, aku selalu liat kamu duduk sendiri sambil nulis,
emang kamu nulis apa?”. Kata Sheila mencairkan suasana.
“novel”.
Jawab Dewi singkat. Dewi mulai terhanyut dengan keramahan Sheila.
Sekitar
satu sampai dua jam Dewi duduk lebih lama dikedai itu bersama teman barunya,
setelah langit mulai gelap, Dewi dan Sheila meninggalkan kedai itu dan menuju
rumah masing-masing.
Keesokan
harinya, Dewi bergegas menuju kedai itu, segera memesan menu yang sama seperti
kemarin dan menempati tempat biasa. Dewi sangat berharap bertemu dengan Sheila.
Dengan teman barunya.
“Hei,
baru nyampe’ ya?”. Sapa Dewi pada Sheila.
“Iya
nih, aku baru aja nyampe’…”.
“Shei,
mulai sekarang aku jadi sahabat kamu ya? Aku sadar kalau akau gak bisa terus
sendiri.”
“Ok…!”.
Jawab Sheila dengan mengekspresikan wajah amat gembira.
“Shei,
aku mau cerita. Tentang sahabat aku yang dulu.”
“emmh… kenapa sama sahabatmu
Wi?” jawab Sheila dengan antusias.
Sekitar lima tahun yang lalu.
Aku punya sahabat. Waktu itu, persahabatanku gak bertahan lama karena sahabat
aku meninggal diusianya yang ke 9,. Semua itu karena aku. Aku berlari
meninggalkannya menyeberang jalan. Padahal aku tahu dia nggak bisa nyebrang.”. Dewi
mulai menitikkan air mata, dan segera menghapus dengan punggung tangannya, lalu
mulai melanjutkan ceritanya.
“Lepas
dari itu semua, waktu aku kelas empat, aku bersahabat kembali, persahabatan
kami berlangsung sekitar 1 tahun, hingga kami naik ke kelas lima, tetapi semua
sirna, ia pergi ke Singapura, dan ia bilang ia akan kembali, tetapi Tuhan
berkehendak lain. Pesawat yang ditumpanginya jatuh dan meledak, ia dan
keluarganya meninggal. Dan yang terakhir, pada saat aku kelas enam, sahabat aku
begitu baik padaku, kami selalu bersama. Sampai pada akhirnya, kami berpisah karena
ia sekolah di SMP yang berbeda dengaku. Kabar terakhir, ia meniggal karena kecelakaan
saat ia mengendarai motor sendiri untuk memenuhi undangan reuni ku di kedai
kopi ini, aku sengaja mengundangnya sendiri, karena aku telah lama tak bertemu.
Aku sangat merasa bersalah. Terakhir
aku bersahabat dengan teman yang aku kenal lewat dunia maya. Kami sangat akrab
sampai pada akhirnya aku menerima telfon itu telfon ibunya. Ibunya berkata
padaku sambil menangis bahwa sahabatku ini masuk rumah sakit karena penyakit
leukimianya. Saat ia di rumah sakit, sepulang sekolah aku selalu menjenguknya
aku selalu menemaninya. Tidak lama aktivitas menjengukku itu. Semua berakhir.
Saat aku mengerjakan tugas kelompok, aku menelofon ibunya untuk memberitahukan
bahwa aku akan datang menjenguk malam sja karena ada tugas kelompok. Tetapi,
saat aku hendak menjenguknya lagi.lagi aku mendapat telefon yang sangat tidak
aku harapkan dari ibu sahabatku ini. Ibunya berkata padaku bahwa anak emata
wayangnya itu meniggal dunia. Aku bergegas ke rumah sakit. Aku mencoba
menstarter motorku tetapi motor itu tak mau menyala. Hari itu ayah dan ibuku
dinas ke luar kota, sehingga aku harus ke rumah sakit sendiri tanpa di antar. Akhirnya
aku berlari kejalanan aku menunggu taksi tak ada yang lewat satu pun, dan aku
tak mungkin naik angkutan umum karena malam-malam begini anggkutan sudah tidak
ada. Akhirnya aku berlari ke rumah sakit. Setibanya disana aku mendapati
sahabatku terkulai lemas tanpa nafas. Aku menangis histeris ku genggam tanggan
dinginnya dan terus memanggil namanya. Aku tahu itu tidak akan menggembalikan
sahabatku. Tapi itulah ekspresi kehilangagnku. Aku ini memang ‘DEWI PENCABUT
NYAWA’. Sejak saat itu, aku takut untuk bersahabat, aku takut semua pergi
karena aku. Aku emang diciptakan untuk sendiri.”. Dewi menagis tersedu dan
menghentikan ceritanya.
“Bukan
Dewi , kamu bukan dewi pencabut nyawa, kamu manusia biasa, sama sepertiku,
semua itu kebetulan, sudah kehendak yang diatas!”.
“Nggak
Shei, itu semua bukan kebetulan, nggak ada kebetulan sesempurna itu! “.
“Terserah
kamu, aku nggak peduli, aku nggak takut, aku tetep mau jadi sahabat kamu,
kalaupun aku pergi berarti itu udah jadi takdirku!”.
“Makasih
ya Shei, tapi kamu gak bakal nyesel kan?”.
“Ya
nggak lah…”.
Akhir-akhir
ini, Sheila tidak pernah bertemu lagi dengan Dewi padahal baru satu minggu
mereka bersahabat, meski satu minggu tetapi mereka bagaikan sudah bersahabat
lama. Mereka sangat akrab dan saling melengkapi satu sama lain.
Tiba-tiba ponsel Sheila bergetar. Tertera dilayar ponsel Sheila “Dewi calling”.
“Halo…. Dewi apa kabar?”.
“Maaf ini saya ibunya Dewi. Ini
Sheila ?”.
“Maaf tante saya kira tadi Dewi. Iya
ini Sheila. Ada apa ya tante?”.
“Kamu
bisa kesini, nak? Dewi masuk rumah sakit, sampai sekarang ia belum sadar!”.
“Dewi
masuk rumah sakit?Oh… oke, sekarang saya kesana ya, dimana tante?”. Sheila amat terkejut mendengar hal itu.
“Sekarang
Dewi dirawat di Lavalete!”.
“Ok
tante Sheila berangkat sekarang juga.”.
Sheila
segera tancap gas menuju Lavalete. Setelah sampai di Lavalete, Sheila segera
bertanya dimana kamar tempat Dewi dirawat dan mencarinya dengan sedikit
berlari. Akhirnya Sheila sampai di depan pintu kamar dimana Dewi dirawat sesuai
pemberitauan suster rumah sakit. Sheila mengetuk pintu dua kali lalu membukanya
perlahan. Ia pun medapati ibu Dewi duduk di samping kasur dimana Dewi terbaring
lemas.
“Tante bagai mana keadaan Dewi?”.
“Masih belum sadar.”
“Kenapa Dewi bisa sampai masuk rumah
sakit tante?”
“Tadi Dewi ngotot ingin ke kedai
kopi yang biasa ia kunjungi sepulang sekolah, padahal Dewi sedang panas tinggi.
Dewi nekat naik motor sendiri katanya kelamaan kalau nunggu taksi, tante
anterin juga Dewinya nggak mau. Dia bilang takut kamunya nunggu kelamaan lalu
meninggalkan kedai dan nggak mau jadi sahabat Dewi lagi. Belum keluar dari
kompleks, Dewi jatuh dari motor dan Dewi………..Dewi….ngeluarin banyak darah di
kepalanya…..terus tante cepet…….cepet bawa Dewi……..kesini………tante takut terjadi
apa-apa sama Dewi Shei………tante takut….”. Jelas ibu Dewi sambil terus terisak.
Sheila
segera menghampiri tempat tidur Dewi. Sheila melihat tubuh tak berdaya Dewi,
wajahnya pucat pasi, dikepalanya terbalut perban dengan noda antiseptic di
sebelah kirinya, tangannya di infuse. Tetapi terpancar wajah tenang pada wajah Dewi.
Sheila menggeggam tangan Dewi erat-erat dan mulai berbisik.
“Dewi,
ini aku Sheila sahabat kamu. Kamu bisa dengar aku kan?”. Panggil Sheila lembut
sambil menahan tangis.
“Bangun
donk Dewi, nanti aku traktir coffee ice sama kue coklat faforit kamu di kedai.
Nanti kita cerita-cerita lagi, masih banyak cerita yang mau aku sanpein ke
kamu.”. Sheila terus mengajak Dewi berbicara padahal Dewi hanya terlelap di
depan Sheila. Sheila tak kuasa menahan tangisnya. Ia menangis terisak-isak. Ibu
Dewi pun hanya bisa memandang anaknya dengan berkaca-kaca.
“She.”.
tiba-tiba Dewi tersadar dan memanggil nama Sheila. Ibu Dewi segera mengghampiri Sheila dan pamit
untuk memanggil dokter. Sekarang hanya ada Sheila dan Dewi di kamar itu.
“Iya
Dewi ini aku Sheila. Kamu yang sabar ya kamu pasti sembuh yang kuat ya, Wi.”.
Sheila berkata sambil terisak. Dewi pun tersenyum lebar senyum termanis yang
pernah dilihat Sheila dari Dewi. kemudian Dewi kembali terlelap.
“Dewi…
Dewi…kamu denger aku kan. Dewi bangun Wi…!”. Dia tak kunjung menjawab. Dokter
pun datang dan segera memeriksa Dewi. Sheila menangis di pelukan ibu Dewi. Mereka
terkejut ketika dokter menutup wajah Dewi dengan selimut putih dan meminta maaf
pada ibu Dewi.
Sheila
menangis histeris dan memanggil nama Dewi yang sekarang telah terlelap untuk
selamanya untuk menjumpai sahabat-sahabat lamanya.
***