POPULER MINGGU INI

Thursday, December 29, 2011

DEWI SANG PENCABUT NYAWA


Buat kali ini, aku bakal posting cerpen aku yang gagal di muat di salah satu majalah. hehe. ya it's ok laah baru percobaan pertama buat kirim cerpen ke majalah =) daaan ini ni cerpen ku. . . enjoy. . .

DEWI SANG PENCABUT NYAWA
“Tet…tet…tet…”
Tiga kali bunyi bel yang amat sedrhana, namun penuh arti bagi siswa-siswi SMA 222 karena, waktunya untuk mengakhiri pelajaran dan meninggalkan sekolah.
            Dewi  siswi kelas sepuluh  SMA 222 berjalan sendiri meninggalkan sekolah. Hanya ada satu tujuan utaman dalam hati Dewi, yaitu sebuah kedai kopi yang selalu ia kunjungi sepulang sekolah. Seperti biasa jalan tidak terlalu ramai kendaraan hanya ada beberapa motor dan pejalan kaki. Jarang sekali ada mobil yang melintas. Langkah Dewi terhenti setelah ia sampai pada tujuannya. Tempat itu sederhana, tetapi sangat asri. Di kedai kopi ini terdapat beberapa pondok kecil yang mengelilingi sebuah pondok besar tempat memesan menu yang telah tersedia. Di pondok besar Dewi memesan 1 cup coffee ice dan sebuah kue coklat favoritnya. Ia berjalan menuju pondok kecil dimana ia biasa tempati (tentu saja kalau tidak didahului penggunjung lain). Cewek manis ini mulai mengeluarkan sebuah notebook tebal berwarna orange dan sebuah bolpoint berwarna hitam. Tak lama kemudian seorang pelayan mengantarkan pesanannya tadi.
“1cup coffee ice dan 1 chocolate cake. Selamat  menikmati.” Kata si pelayan dengan ramah.
“Terimakasih” kata Dewi pada pelayan itu.
Ia mulai menulis sambil menggigit kue coklatnya dan melahap coffee icenya sedikit demi sedikit. Sendiri. Itulah Dewi. Ia memang selalu sendiri ia tak ingin bersahabat seperti teman sebayanya yang lain. Jemarinya mulai menari menggoreskan tinta hitamnya ke atas notebook orange miliknya. Ia sedang menulis novel yang sudah ia tekuni mulai kelas 8 SMP. Tiba-tiba seseorang menghampirinya, dan itu membuat Dewi terkejut. Tetapi keterkejutan itu tidak berlangsung lama. Dewi langsung memasang wajah acuh tak acuh pada orang tak dikenalnya itu.
            “Emm……….boleh aku duduk di sini?”. Suara gadis itu mengagetkan Dewi.
            “Ya silakan!”. Jawab Dewi malaspada orang asing di depannya.
“Kok sendiri aja mannggak sama  temen kamu?”. Tanya gadis itu memulai pembicaraan.
            “Temen? Nggak kepikiran tuh!”. jawab Dewi cuek.
            “HaA? Oh ya namaku Sheila aku mau jadi temen kamu, ya… kalo’ kamu nggak keberatan sich!”.
            Sejenak Dewi terdiam, dan tenggelam dalam pikirannya. Sebenarnya Dewi  mulai kesepian, tetapi ia takut untuk berteman.
            “Hei, aku nggak ngomomong sama patung kan? Nama kamu siapa?”.
            “Eh , iya, aku Dewi… kamu mau jadi temen aku?”. Jawab Dewi gugup.
            “Iya. Aku juga langganan disini, aku selalu liat kamu duduk sendiri sambil nulis, emang kamu nulis apa?”. Kata Sheila mencairkan suasana.
            “novel”. Jawab Dewi singkat. Dewi mulai terhanyut dengan keramahan Sheila.
            Sekitar satu sampai dua jam Dewi duduk lebih lama dikedai itu bersama teman barunya, setelah langit mulai gelap, Dewi dan Sheila meninggalkan kedai itu dan menuju rumah masing-masing.
            Keesokan harinya, Dewi bergegas menuju kedai itu, segera memesan menu yang sama seperti kemarin dan menempati tempat biasa. Dewi sangat berharap bertemu dengan Sheila. Dengan teman barunya.
            “Hei, baru nyampe’ ya?”. Sapa Dewi pada Sheila.
            “Iya nih, aku baru aja nyampe’…”.
            “Shei, mulai sekarang aku jadi sahabat kamu ya? Aku sadar kalau akau gak bisa terus sendiri.”
            “Ok…!”. Jawab Sheila dengan mengekspresikan wajah amat gembira.
            “Shei, aku mau cerita. Tentang sahabat aku yang dulu.”
“emmh… kenapa sama sahabatmu Wi?” jawab Sheila dengan antusias.
Sekitar lima tahun yang lalu. Aku punya sahabat. Waktu itu, persahabatanku gak bertahan lama karena sahabat aku meninggal diusianya yang ke 9,. Semua itu karena aku. Aku berlari meninggalkannya menyeberang jalan. Padahal aku tahu dia nggak bisa nyebrang.”. Dewi mulai menitikkan air mata, dan segera menghapus dengan punggung tangannya, lalu mulai melanjutkan ceritanya.
            “Lepas dari itu semua, waktu aku kelas empat, aku bersahabat kembali, persahabatan kami berlangsung sekitar 1 tahun, hingga kami naik ke kelas lima, tetapi semua sirna, ia pergi ke Singapura, dan ia bilang ia akan kembali, tetapi Tuhan berkehendak lain. Pesawat yang ditumpanginya jatuh dan meledak, ia dan keluarganya meninggal. Dan yang terakhir, pada saat aku kelas enam, sahabat aku begitu baik padaku, kami selalu bersama. Sampai pada akhirnya, kami berpisah karena ia sekolah di SMP yang berbeda dengaku. Kabar terakhir, ia meniggal karena kecelakaan saat ia mengendarai motor sendiri untuk memenuhi undangan reuni ku di kedai kopi ini, aku sengaja mengundangnya sendiri, karena aku telah lama tak bertemu. Aku sangat merasa bersalah. Terakhir aku bersahabat dengan teman yang aku kenal lewat dunia maya. Kami sangat akrab sampai pada akhirnya aku menerima telfon itu telfon ibunya. Ibunya berkata padaku sambil menangis bahwa sahabatku ini masuk rumah sakit karena penyakit leukimianya. Saat ia di rumah sakit, sepulang sekolah aku selalu menjenguknya aku selalu menemaninya. Tidak lama aktivitas menjengukku itu. Semua berakhir. Saat aku mengerjakan tugas kelompok, aku menelofon ibunya untuk memberitahukan bahwa aku akan datang menjenguk malam sja karena ada tugas kelompok. Tetapi, saat aku hendak menjenguknya lagi.lagi aku mendapat telefon yang sangat tidak aku harapkan dari ibu sahabatku ini. Ibunya berkata padaku bahwa anak emata wayangnya itu meniggal dunia. Aku bergegas ke rumah sakit. Aku mencoba menstarter motorku tetapi motor itu tak mau menyala. Hari itu ayah dan ibuku dinas ke luar kota, sehingga aku harus ke rumah sakit sendiri tanpa di antar. Akhirnya aku berlari kejalanan aku menunggu taksi tak ada yang lewat satu pun, dan aku tak mungkin naik angkutan umum karena malam-malam begini anggkutan sudah tidak ada. Akhirnya aku berlari ke rumah sakit. Setibanya disana aku mendapati sahabatku terkulai lemas tanpa nafas. Aku menangis histeris ku genggam tanggan dinginnya dan terus memanggil namanya. Aku tahu itu tidak akan menggembalikan sahabatku. Tapi itulah ekspresi kehilangagnku. Aku ini memang ‘DEWI PENCABUT NYAWA’. Sejak saat itu, aku takut untuk bersahabat, aku takut semua pergi karena aku. Aku emang diciptakan untuk sendiri.”. Dewi menagis tersedu dan menghentikan ceritanya.
            “Bukan Dewi , kamu bukan dewi pencabut nyawa, kamu manusia biasa, sama sepertiku, semua itu kebetulan, sudah kehendak yang diatas!”.
            “Nggak Shei, itu semua bukan kebetulan, nggak ada kebetulan sesempurna itu! “.
            “Terserah kamu, aku nggak peduli, aku nggak takut, aku tetep mau jadi sahabat kamu, kalaupun aku pergi berarti itu udah jadi takdirku!”.
            “Makasih ya Shei, tapi kamu gak bakal nyesel kan?”.
            “Ya nggak lah…”.
            Akhir-akhir ini, Sheila tidak pernah bertemu lagi dengan Dewi padahal baru satu minggu mereka bersahabat, meski satu minggu tetapi mereka bagaikan sudah bersahabat lama. Mereka sangat akrab dan saling melengkapi satu sama lain. Tiba-tiba ponsel Sheila bergetar. Tertera dilayar ponsel Sheila “Dewi calling”.
            “Halo…. Dewi apa kabar?”.
            “Maaf ini saya ibunya Dewi. Ini Sheila ?”.
            “Maaf tante saya kira tadi Dewi. Iya ini Sheila. Ada apa ya tante?”.
            “Kamu bisa kesini, nak? Dewi masuk rumah sakit, sampai sekarang ia belum sadar!”.
            “Dewi masuk rumah sakit?Oh… oke, sekarang saya kesana ya, dimana tante?”. Sheila amat terkejut mendengar hal itu.
            “Sekarang Dewi dirawat di Lavalete!”.
            “Ok tante Sheila berangkat sekarang juga.”.
            Sheila segera tancap gas menuju Lavalete. Setelah sampai di Lavalete, Sheila segera bertanya dimana kamar tempat Dewi dirawat dan mencarinya dengan sedikit berlari. Akhirnya Sheila sampai di depan pintu kamar dimana Dewi dirawat sesuai pemberitauan suster rumah sakit. Sheila mengetuk pintu dua kali lalu membukanya perlahan. Ia pun medapati ibu Dewi duduk di samping kasur dimana Dewi terbaring lemas.
            “Tante bagai mana keadaan Dewi?”.
            “Masih belum sadar.”
            “Kenapa Dewi bisa sampai masuk rumah sakit tante?”
           “Tadi Dewi ngotot ingin ke kedai kopi yang biasa ia kunjungi sepulang sekolah, padahal Dewi sedang panas tinggi. Dewi nekat naik motor sendiri katanya kelamaan kalau nunggu taksi, tante anterin juga Dewinya nggak mau. Dia bilang takut kamunya nunggu kelamaan lalu meninggalkan kedai dan nggak mau jadi sahabat Dewi lagi. Belum keluar dari kompleks, Dewi jatuh dari motor dan Dewi………..Dewi….ngeluarin banyak darah di kepalanya…..terus tante cepet…….cepet bawa Dewi……..kesini………tante takut terjadi apa-apa sama Dewi Shei………tante takut….”. Jelas ibu Dewi sambil terus terisak.
            Sheila segera menghampiri tempat tidur Dewi. Sheila melihat tubuh tak berdaya Dewi, wajahnya pucat pasi, dikepalanya terbalut perban dengan noda antiseptic di sebelah kirinya, tangannya di infuse. Tetapi terpancar wajah tenang pada wajah Dewi. Sheila menggeggam tangan Dewi erat-erat dan mulai berbisik.
            “Dewi, ini aku Sheila sahabat kamu. Kamu bisa dengar aku kan?”. Panggil Sheila lembut sambil menahan tangis.
            “Bangun donk Dewi, nanti aku traktir coffee ice sama kue coklat faforit kamu di kedai. Nanti kita cerita-cerita lagi, masih banyak cerita yang mau aku sanpein ke kamu.”. Sheila terus mengajak Dewi berbicara padahal Dewi hanya terlelap di depan Sheila. Sheila tak kuasa menahan tangisnya. Ia menangis terisak-isak. Ibu Dewi pun hanya bisa memandang anaknya dengan berkaca-kaca.
            “She.”. tiba-tiba Dewi tersadar dan memanggil nama Sheila. Ibu Dewi segera mengghampiri Sheila dan pamit untuk memanggil dokter. Sekarang hanya ada Sheila dan Dewi di kamar itu.
            “Iya Dewi ini aku Sheila. Kamu yang sabar ya kamu pasti sembuh yang kuat ya, Wi.”. Sheila berkata sambil terisak. Dewi pun tersenyum lebar senyum termanis yang pernah dilihat Sheila dari Dewi. kemudian Dewi kembali terlelap.
            “Dewi… Dewi…kamu denger aku kan. Dewi bangun Wi…!”. Dia tak kunjung menjawab. Dokter pun datang dan segera memeriksa Dewi. Sheila menangis di pelukan ibu Dewi. Mereka terkejut ketika dokter menutup wajah Dewi dengan selimut putih dan meminta maaf pada ibu Dewi.
            Sheila menangis histeris dan memanggil nama Dewi yang sekarang telah terlelap untuk selamanya untuk menjumpai sahabat-sahabat lamanya.

***

Monday, December 12, 2011

MATI RASA ??

1 hari. . .
2 hari. . .
3 hari. . .
Setiap hari aku was was. . .
Aku takut. . .
Aku khawatir. . .
Setiap hari aku deg.deg.an. . .
Aku mikir. . .
Aku ngerasa berat. . .
.
Aku masih terlalu trauma.
Seharusnya enggak secepet ini.
Hatiku masih terlalu rapuh.
Perasaanku belum terangkai utuh.
Semua rangkaian ini belum sempurna. . .
.
Cerita ini terlalu dini dituliskan.
Kisah ini terlalu awal dimulai.
Aku masih diselimuti rasa trauma.
Rasa takut hebat.
Rasa. . .
Bahkan aku udah enggak tau apa yang aku rasa. . .
Sekarang, esok, dan seterusnya. . .
.
Apa ini bisa tumbuh dan berkembang??
Apa ini bakal mati disaat berbunga??
.
Ya Tuhan. .
Aku enggak mau terus dililit rasa takut.
Khawatir.
Trauma.
Bayangan itu dateng ngerusak. . .
Ngerampas. .
Semua rasaku. . .
.
MATI RASA.
Itu yang aku alami sekarang. . .
.
But wait.
I wanna try. .
I dunno what will happen??
But,
I'll do my best for you. . .
And please. . .
DON'T LET ME DOWN. . . =)